Selasa, 24 April 2012

Ruang Sunyi Membisu

Dulu seringkali aku menerima kata-kata hampa darinya. Tapi sekarang kurasa banyak kata-katanya yang lebih bermakna.
Perumpamaan hatinya seolah mengingatkanku selaksa beji baja yang telah meleleh dan dengan lelehan yagn lembut itulah ia berhasil menyentuh hatiku.
Hatinya kini sangat lembut, membuatku tak ingin ada yang menggoreskan luka di hatinya.
Aku memang tak bisa mengukur seberapa indah kehadirannya. Namun bayang semunya pernah membentuk memenuhi aktifitasku. Aku terus berduo’a agar hatiku tetap dalam penjagaan-NYA. Karena DIA adalah satu-satunya penguasa hati yang mengatur hatiku.
Masih saja kudapati ia diam-diam menyela di lintasan angan yang antara jarak pemisah yang entah sudah terbentuk semenjak aku mengenalnya.
Emosi pribadi yagn dulu membakar hati, kini dipahamkan oleh rahasia yang terungkap dariku sendiri yang kemudian mengubur kepingan emosi telah lama ia semaikan.
Kidung rahasia yang entah bermakna seperti apa. Segala kata mengantarkan aku pada pencarian titik temu sebuah keceriaan dan kebahagiaannya juga kebahagiaanku sendiri pada kehidupan real masing-masing, meski air mata sudah banyak tumpah sebelumnya.
Yang telah lalu sudah sangat cukup menghadirkan kepedihan. Tapi kini berusaha kulupakan dari memori hati. Aku tidak ingin lagi menuangkan atau dituangkan pedih dan luka.
Kesejukan dengan hati basah yang berusaha kukondisikan. Aku masih berusaha temukan elemen yang menerobos dinding penghalang atau sekedar untuk melenyapkan kabisuan. Dengan tetap bertahta pada prinsip yang telah kutanam selama ini. Dan tetap menjaga hakikat sesunggunya atas semuanya ini.
Wallohu A’lam.

Senin, 23 April 2012

DialogKu

Dialogku dengannya tetap tak pernah berubah dari kebisuan. Hanya diam dalam kata-kata tanpa suara. Tak pernah menjadi dialog murni. Di kedekatan, justru seolah sangat jauh terpandang. Entah saat ini kami mempersingkat jarak atau justru memperpanjang jarak yang selama ini masih memisah. Hingga lantas kami harus menerima apa yang Tuhan tanamkan dalam kami. Bersandar pada sesuatu yang kadang sangat manis namun terkadang sangat menyakitkan. Dan kamipun selalu merindukan-Nya yang senantiasa menjadi sumber abadi atas segala hakikat.
Aku berusaha merubah batu-batu keras menjadi Kristal yang bercahaya dan kerasnya menjadi selembut tubuh-tubuh lilin.
Dialog kami membisu. Bagaimana dialog akan berlanjut? Aku pasrah pada jalan takdir yang telah tertuliskan.
Akupun yakin ia pasti memahami apa yang terucap dan apa yang tak bias terucap dariku.
Kata-kata adalah singgahsana hatiku. Kata-kata adalah hati yang memanggil logika untuk bermain di tempat yang sama. Beradu argument dan cara pandnag atau saling menguatkan.
Aku masih bersama sapaan-sapaan tertahan yang berdiri di atas seribu satu usaha untuk enyahkan kebimbangan dan kegundahan hatiku karena ketidak mampuanku bersuara. Tapi aku masih tetap berusaha. Melihat apapun dari esensi atas segala misteri yang aneh ini.
Aku sengaja mempertebal dinding hati agar tak lemah, dengan masih beratapkan serta beralaskan kepeduliaan terhadapnya, juga berusaha untuk terus menghargainya.
Pilar-pilar pengorbanan menguasai diri dengan ketegaran yang masih bertahan di sini. Aku tetap mencoba bicara meski dengan dialog bisu yang ia pahami. Kulihat dia dalam jendela yang beda. Melihat gelagatnya dari pandangan yang berbeda pula.
Meski segala kerisauannya tak henti berbaris dalam suatu prosesi di tiap irama waktu ini.
Aku tak kuasa meloncat jauh dari hening ini, untuk kemudian memasuki suasana lain atau nuansa lain.
Karena faktnya aku masih harus di sini.

Selasa, 17 April 2012

Lulus

raungan knalpot sepeda motor itu menggelegar..
klakson sepeda motor juga sama..
teman-temanku konvoi..
memakai seragam kebesaran,
yang telah tercorat-coret tulisan “lulus”, dari pilox..
menyusuri jalan, berkeliling kota
menyuarakan gempita kelulusan ujian nasional..

raungan tangisku tak terdengar..
tenggelam oleh deru knalpot-knalpot itu,
aku,…
aku,…
aku tidak lulus,
vonis yang kuketahui dari selembar kertas yang ditempel di papan pengumuman..
suara tangis tercampur jadi satu..
tangis syukur, tangis sendu tidak dapat dibedakan..
namun tangisku, tangis pilu..

senyuman sinis timbul dari segelintir orang..
beberapa raut muka bodoh kulihat,
“untung waktu saya sekolah nggak ada UAN, hanya ebtanas”,
“untung standar nilai kelulusan belum setinggi sekarang waktu saya uan dulu..”
itulah pemikiran picik yang saya tangkap dari raut-raut muka itu,
pemikiran ikut bela sungkawa atas keadaan ini..

teringat orang tua yang telah bekerja keras,
berusaha menjadikan anaknya untuk lebih mapan keadaannya.
yang lulus, bingung mau ke mana..
kuliah, mahal segalanya..
kerja, mau jadi apa..
aku yang belum lulus..
teringat wajah emak, bapak,
yang selalu mewantiku agar dapat dijadikan contoh baik bagi adikku.
kebanggaan keluarga..

raungan konvoi motor masih menggema di jalanan kota..
sayup-sayup terdengar sirene polisi..
pasti jadi tontonan menarik bagi warga..
sebuah aksi kejar-kejaran seperti di film,
polisi kejar berandal..
tapi ini berandal berseragam, yang mengacaukan ketertiban kota sesaat..
bukan polisi yang lewat, sirene ambulance ternyata..
konvoi kelulusan tersebut, memakan korban.
seorang siswa terkapar di jalan..
merah darah yang keluar dari kepalanya,
ikut mewarnai seragam yang dikenakannya..
ah sayang, niatnya mau senang-senang,
malah namamu yang akan dikenang.
mati konyol ini namanya..

apa aku menemani dia saja ya??
bercengkerama di sana..
menertawakan pendidikan negeri ini,
menjadi pengamat pendikan dadakan dari lain dunia..
yang tidak pernah didengar,
tidak digubris oleh bapak-bapak terhormat.
kuingat pisau di dapur,
atau tali jemuran di halaman belakang.
sarung bapak, ato selendang emak..
siapa tahu besok jadi berita utama di media-media..
atau jadi tren terbaru setelah pengumuman uan..
dan akhirnya uan dihapus,
karena tren yang kupelopori ini
diikuti teman-teman senasib seperti aku..
aku jadi pahlawan..
haha..

sebuah pikiran picik baru saja terlintas di benakku..
aku menyerah oleh keadaan kalau begini namanya..
berarti aku kalah untuk yang kedua kalinya..
ah, sial..